Saat Allah Mengujiku
Pendakian meski terbilang olahraga ekstrim yang cukup sulit namun banyak yang ketagihan setelah mencobanya, padahal perlu usaha ekstra untuk dapat sampai ke puncak gunung, melewati jalan-jalan yang berlumpur, kadang berpasir, tanjakkan curam dan turunan yang licin, dan sesekali membuat lutut ini bertemu dengan dagu. Anehnya karena kondisi yang tidak biasa itu lah seseorang merasa tertantang dan ingin mencoba lagi tantangan-tantangan yang baru.
Pun
dalam kehidupan, tidak selamanya lurus, tidak selamanya mulus. Ada hambatan dan
ada tantangan. Jika saja kehidupan selalu sesuai dengan apa yang diinginkan
manusia pastilah tidak akan ada kedewasaan dan tidak ada beda orang yang usaha
nya sungguh-sungguh dengan yang biasa-biasa saja. Tidak ada juga kata gagal dan
berhasil di dunia ini.
Kesungguhan
manusia dalam menjalani kehidupan berbanding lurus dengan kesuksesan. Meski
terdengar mudah namun saat menjalani nya tidaklah semudah apa yang dituliskan.
Ada kondisi dimana seseorang benar-benar merasa down atas kondisinya, aku pun
pernah berada dalam kondisi tersebut.
Saat
ku disibukkan oleh banyaknya amanah dalam organisasi, disaat ku mencapai
tingkat eksistensi di kampus, disaat ku berbicara banyak yang mendengarkan,
disaat ku berjalan menjadi sorotan, disaat ku memotivasi orang lain agar mampu
bersemangat menjalani hidup, disaat itu pula aku dalam kondisi yang sangat
terpuruk dan jatuh.
Allah
mengujiku dari sisi financial, Allah menguji ku dari sisi jasmani, Allah
menguji ku dari orang-orang terdekatku.
Kondisi
financial keluarga ku yang sedang mengalami goncangan, dimana ayahku yang
menjadi tulang punggung keluarga sudah mengalami penurunan produktivitas nya
dalam bekerja, beliau seorang wirausaha, yang hanya bekerja ketika mendapat
pesanan dari pelanggan. Dulu banyak pesanan bisa lebih dari 3 sehingga ayahku
harus menambah jumlah karyawannya, akan tetapi belakangan ini tidak ada pesanan
satupun, bahkan kami harus meminjam uang kesana-kemari untuk mampu bertahan
hidup.
Tidak
hanya itu diriku yang tidak mampu memanajemen uang selalu lebih banyak
pengeluaran daripada pemasukan, selain itu juga hutang akiat bisnis-bisnis ku yang merugi, Sehingga aku pun punya hutang disana-sini yang
belum mampu kuselesaikan.
Selain
kondisi financial, Allah pun menguji ku dengan sakit yang kurasakan sejak
beberapa tahun yang lalu, aku terlihat sempurna, sekilas tak ada yang beda
antara aku dan orang lain. Ya memang benar karena aku tidak memiliki cacat di
anggota tubuhku. Mataku mampu melihat dengan baik, telingaku mampu mendengar dengan sempurna, tak ada beda. Kondisi ini hanya aku yang merasakan, hanya aku yang
mengetahui, tak jarang sakit ini kambuh di sela-sela aktivitasku. Membuat ruang
gerak berkurang dan bahkan sering menghindar dari kerumunan.
Saat
menulis artikel ini aku meneteskan air mata atas kondisi ku, merasa lelah
dengan keadaan ini, merasa sendiri, merasa tak ada yang peduli dengan
kesakitanku. Bukan salah mereka, tapi karena memang aku yang tak mengatakannya.
Aku
tak ingin mereka melihat ku lemah, aku tak ingin mereka berteman denganku
karena rasa iba. Maka biarlah kesulitan-kesulitan ini hanya aku yang tahu dan
biarkan aku yang menyelesaikannya atas izin Allah.
Dengan
kondisi seperti ini aku pernah benar-benar kesal dengan Allah, saat SMA aku
tidak mau shalat beberapa hari karena aku merasa Allah tidak sayang pada ku.
Karena Allah tidak juga menyembuhkan penyakit ku padahal aku merasa sudah
menjadi anak yang baik bagi orang tua ku, teman yang baik, dan kaka yang baik.
Aku
membandingkan dengan remaja-remaja zaman sekarang, yang menurutku lebih banyak
mendapat nikmat padahal mereka tidak mau menutup aurat, padahal mereka tidak
mau shalat, padahal mereka tidak mau bersabar dalam ikatan suci, padahal mereka
tidak patuh pada orang tua.
Namun
aku sadar bahwa Allah menguji ku karena Allah sayang pada ku, karena Allah
ingin aku lebih dekat lagi dengan Nya, agar aku kembali kepada Nya, agar aku
mampu mengingatNya jauh lebih sering dan jauh lebih lama. Karena Allah ingin mendewasakan ku, karena Allah ingin mendidik ku. Bayangkan seandainya Allah sudah tidak perdulikan kita, Allah tidak menyapa kita, Allah tidak menegur kita. Aku pikir itu lebih menyiksa, karena jika manusia saja yang melakukannya aku sudah begitu sakit apalagi jika Allah yang cuek kepadaku. Kesadaran
itu yang membuat ku terus hidup, terus menjalani hari-hari ku dengan berbagi
meski kekurangan.
Bagi
ku cukuplah dulu aku ingkar kepada Tuhan ku, sekarang aku cukup berkaca pada
diri dan memperbaiki diri ku dengan
terus mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Hati. Banyak berkumpul dengan
orang-orang shaleh membuat pikiran ku terbuka dan justru membuat ku merasa
lebih dewasa dan lebih berharga dari sebelumnya.
Semoga
kalian tidak pernah melakukan kesalahan yang sama dengan ku dalam menghadapi
ujian dari Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar