“GALAU DANA TALANGAN HAJI”




 Oleh Dita



Baitullah merupakan tempat yang disakralkan dalam Islam. Karena itu semua umat Islam mendambakan pergi kesana untuk melaksanakan rukun Islam yang ke lima. Setiap tahunnya jutaan jama’ah dari seluruh dunia berkumpul disana. Dan berdasarkan data Indonesialah yang menempati urutan pertama dengan jumlah jama’ah haji terbesar tiap tahunnya. Sejak 10 tahun terakhir jumlah jamaah haji Indonesia mencapai 24,8 juta.

Meski begitu banyak pula masyarakat Indonesia yang ingin melaksanakan haji namun belum mencukupi dari segi financial. Kondisi tersebut tidak disia-siakan begitu saja oleh Lembaga Keuangan. Maka dari itu muncul lah produk Pengurusan Haji dan Dana Talangan Haji. 

Pada fatwa DSN MUI No 29/DSN-MUI/XI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah selanjutnya disingkat LKS, dijelaskan bahwa terdapat dua akad yaitu akad ijaroh dan akad qardh. Dimana akad ijarah merupakan pemberian jasa atas pengurusan ibadah haji yang dilakukan oleh LKS. Sementara akad Qardh merupakan akad pinjam meminjam yang tidak boleh ada kelebihan didalamnya. 

Munculnya produk ini disambut baik oleh masyarakat Indonesia yang memang senang berhutang. Karena hanya dengan uang 5 juta atau 10 juta sudah bisa mendapatkan kursi antrean haji. Masyarakat berbondong-bondong mendaftarkan dirinya melalui jasa pengurusan haji pada bank syariah. Akibatnya jumlah waiting list keberangkatan haji di Indonesia sangatlah panjang mencapai 1,6 juta.

Lantas mengapa masih ada perbedaan pendapat atas produk dana talangan haji ini?

Anggito Abimanyu - Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama, menilai bahwa produk dana talangan haji ini tidak sesuai dengan prinsip haji yaitu orang yang menunaikan haji adalah orang yang sudah mampu. Baik mampu secara jasmani, rohani serta materi. Selain itu produk ini juga menyebabkan waiting list yang panjang. Yang awalnya hanya menunggu 1 tahun kini mencapai 10 tahun.

Lalu apakah prakteknya sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI?

Nyata nya LKS masih  menggunakan sistem yang tidak sesuai dengan ketentuan fatwa MUI. Dimana pada sistem ini ada dua akad dalam satu produk. Seharusnya akad ijarah dan qardh terpisah. 

Hal ini lah yang membuat masyarakat galau. Tidak hanya itu, bank syariah juga menentukan besaran ujroh/pembayaran jasa kepada nasabah sesuai dengan jumlah pinjaman nya. Seharusnya ujroh pengurusan haji jumlahnya tetap untuk semua nasabah karena tugas yang dikerjakan bank syariah pun sama. Hanya mendaftarkan calon jamaah haji agar mendapatkan porsi antrean. 

Contoh kasus, misalnya untuk mendapatkan porsi antrean setiap calon jamaah haji harus membayar 25 juta. Bapak A membayar 5 juta dan sisanya 20 juta nya menggunakan dana talangan haji dari bank, sementara Bapak B membayar 10 juta dan 15 juta nya menggunakan dana talangan haji dari bank. Maka seharusnya ujroh yang diterima bank dari kedua nasabah tersebut adalah sama misalnya 1 juta. Jika dalam penentuan ujroh nya berbeda maka hal ini sama saja riba karena si pemberi pinjaman mengambil manfaat dari si peminjam.

Produk dana talangan haji ini dibutuhkan oleh masyarakat. Karena memberikan kemudahan dalam pengurusan ibadah haji. Namun alangkah baiknya jika prakteknya sesuai dengan fatwa DSN. Selain itu untuk mengantisipasi antrian yang sangat panjang. Pihak bank bisa saja hanya sekedar menghimpun dana dari nasabah yang membuka tabungan haji. Sehingga nasabah akan didaftarkan setelah dana yang ada ditabungan haji telah mancapai dana haji yang ditentukan pemerintah. Dengan demikian akan muncul keadilan sosial. Dimana yang mendapatkan kursi antrean haji hanya mereka yang sudah mampu dalam hal financialnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“HIJAB MODIS” BUKAN “HIJAB SYAR’I”

Gerakan Sosial Pemberdayaan Masyarakat

Alasan Rasulullah menggunakan Bait Al Arqam